Berdasarkan data yang dianalisis oleh McKinsey Global Institute, tingkat partisipasi tenaga kerja perempuan di Indonesia masih rendah dan cenderung stagnan dibandingkan dengan laki-laki. Selama dua dekade terakhir, partisipasi perempuan dalam angkatan kerja hampir tidak mengalami perubahan signifikan, tetap berada di kisaran 51 persen, dengan rasio partisipasi perempuan terhadap laki-laki yang statis di angka 0,62. Fenomena ini membawa implikasi jangka panjang bagi pemberdayaan ekonomi dan sosial perempuan, serta menjadi peluang pertumbuhan yang terlewatkan.
Dari data tersebut, Indonesia sebenarnya memiliki tiga peluang besar. Pertama, meningkatkan jumlah perempuan di posisi kepemimpinan dalam dunia bisnis. Kedua, memperkuat perlindungan hukum bagi perempuan. Ketiga, mempercepat peningkatan partisipasi perempuan dalam angkatan kerja. MGI mencatat bahwa fokus pada dua pendekatan, yakni pengembangan infrastruktur dan adopsi teknologi digital yang lebih luas, dapat menjadi solusi signifikan. Kedua pendekatan ini sangat relevan dan berpotensi membawa dampak besar di Indonesia.
Dalam seminar nasional bertajuk “Mengurangi Kemiskinan Perempuan Menuju Ekonomi Indonesia yang Kuat dan Berkeadilan”, yang diadakan untuk memperingati Hari Perempuan Internasional 2018, perhatian diarahkan pada isu diskriminasi upah, preferensi terhadap pekerja laki-laki, minimnya fasilitas, dan berbagai isu kesetaraan gender lainnya (Magdalene, 03/18). Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Bambang Broedjonegoro, mengungkapkan bahwa tingkat kemiskinan di Indonesia turun menjadi 10,19 persen pada tahun 2017, dari 10,86 persen pada tahun sebelumnya, berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS).
“Namun, perlu disadari bahwa 10,19 persen ini masih setara dengan sekitar 26 juta jiwa penduduk Indonesia. Jika kita lihat berdasarkan gender, tingkat kemiskinan perempuan relatif lebih tinggi di hampir semua kelompok usia,” ungkap Bambang. Ia menambahkan bahwa fenomena kemiskinan perempuan yang lebih tinggi daripada laki-laki terjadi secara merata di seluruh provinsi.
Padahal, tingkat partisipasi perempuan di bidang pendidikan cukup tinggi, bahkan dalam beberapa kasus lebih tinggi daripada laki-laki. Sayangnya, tingkat partisipasi perempuan dalam dunia kerja jauh lebih rendah. Bambang mencatat bahwa partisipasi angkatan kerja perempuan hanya 51 persen, artinya dari semua perempuan usia produktif, hanya 51 persen yang terlibat dalam pekerjaan. Sebaliknya, tingkat partisipasi angkatan kerja laki-laki mencapai 82 persen.
Tingginya diskriminasi, terutama dalam hal upah, menjadi salah satu penyebab rendahnya partisipasi perempuan dalam angkatan kerja. “Semakin besar diskriminasi ini, semakin kecil minat perempuan untuk aktif di pasar kerja. Kita harus berupaya menciptakan kesetaraan. Fokusnya bukan pada gender, tetapi pada kualifikasi dan keterampilan. Jika seseorang memiliki kualifikasi atau keterampilan yang sama, maka upah yang diterima seharusnya setara. Tidak boleh ada diskriminasi upah hanya karena perbedaan gender,” tegasnya.
Selain itu, menurut data MGI, perlindungan hukum bagi perempuan di Indonesia masih lemah dalam tiga aspek. Pertama, terdapat kesenjangan dalam legislasi nasional, seperti kurangnya kesetaraan hak waris bagi perempuan dan minimnya perlindungan di tempat kerja. Kedua, beberapa peraturan lokal dan regional bertentangan dengan standar nasional. Ketiga, banyak perempuan bekerja di sektor informal; sekitar 24 juta perempuan Indonesia, atau 54 persen dari total pekerja perempuan, bekerja di sektor informal tanpa perlindungan hukum, sehingga rentan terhadap diskriminasi. Kesenjangan upah antara laki-laki dan perempuan di sektor informal mencapai 36 persen, jauh lebih tinggi dibandingkan sektor formal yang sebesar 20 persen. Terakhir, kesenjangan juga terlihat dalam penegakan perlindungan hukum untuk perempuan. Penegakan hukum yang lemah, ditambah dengan kebijakan cuti melahirkan dan haid yang kuat, justru memperburuk diskriminasi terhadap perempuan, karena pelaku usaha enggan menanggung biaya kebijakan tersebut tanpa takut akan konsekuensinya.
Bambang memaparkan berbagai strategi yang telah dilakukan pemerintah untuk mengurangi kesenjangan gender dalam akses kerja dan memberantas kemiskinan perempuan, di antaranya adalah memaksimalkan penerapan Equal Employment Opportunity, menyediakan fasilitas penitipan anak di tempat kerja, serta memberikan cuti hamil sesuai kebutuhan pekerja perempuan. Selain itu, ia menekankan pentingnya menaikkan usia pernikahan dan mengurangi preferensi terhadap jenis kelamin anak yang akan dilahirkan.